Brazil, negara yang dahulu dikenal memiliki gaya permainan sepakbola cantik yang dikenal sebagai joga bonito. Pemain-pemain sepakbola Brazil memiliki teknik tinggi dan bermain untuk menghibur. Saya cukup beruntung dapat melihat pemain-pemain Brazil dengan teknik tinggi seperti Ronaldhinho, Rivaldo, Juninho Pernambucano, Romario, Edmundo, Kaka, Cafu, Roberto Carlos, Denilson, Leonardo dan banyak lagi pemain-pemain di masa lampau yang menyuguhkan indahnya dribble meliuk-liuk, kemampuan mencetak gol secara akrobatik, tendangan bebas baik melengkung maupun menghujam gawang, serta permainan satu-dua (bahkan lebih) antar pemain. Jaman keemasan itu begitu melekat di benak saya dan banyak penikmat sepakbola lainnya sehingga harapan untuk terhibur pada saat tim nasional Brazil bermain, terlepas Brazil adalah tim andalannya atau bukan (Saya lebih menggemari tim nasional Spanyol, Argentina dan Jerman).
Namun entah kenapa belakangan ini timnas Brazil tidak lagi memancarkan aura yang sama dengan pendahulunya. Sesekali permainan cantik muncul pada pertandingan, namun Brazil tidak lagi menikmati pertandingan itu sendiri. Hasrat akan kemenangan sepertinya mulai mengambil alih spirit tim sesuai dengan paradigma sepakbola terkini yang lebih mementingkan hasil daripada penampilan. Sayangnya, saat penampilan standar tersebut diiringi dengan hasil yang biasa-biasa saja, Brazil perlahan-lahan mulai kehilangan identitas gaya sepakbolanya.
Pemain-pemain Brasil masa kini mulai dipengaruhi spirit permainan Eropa yang dikenal efisien. Tidak salah juga karena banyak pemain timnas Brazil mengadu nasib di liga-liga papan atas Eropa. Yang membedakannya dengan pemain-pemain masa lampau adalah pemain masa kini diwarnai oleh taktik tim sedangkan pemain masa lampau mewarnai tim. Meskpiun harus diakui bahwa pemain-pemain Brazil secara rata-rata memiliki teknik sepakbola yang lebih dari standar, namun permainan menggunakan insting sudah tidak lumrah lagi dilakukan. Hanya pemain-pemain tertentu seperti Neymar, Dani Alves dan Douglas Costa yang nampak begitu menikmati pertandingan dan menyajikan trik serta dribel yang menghibur sedangkan sebagian pemain lainnya cenderung bermain lebih efisien, contohnya Paulinho, Willian, dan Fernandinho.
Hal tersebut mulai tampak pada Piala Dunia 2014 kemarin dan semakin nyata pada Copa America tahun ini. Berhubung pertandingan-pertandingan Copa America disiarkan secara langsung di televisi
nasional pada jam yang menyenangkan, jam 6-8 pagi, maka saya dapat melihat pertandingan Brazil vs Colombia. Meskipun sebagian dipengaruhi oleh kelelahan akibat musim panjang yang baru saja diakhiri rata-rata pada bulan Mei lalu, Brazil melalui pertandingan dengan pragmatis. Mencoba mencari cara paling efisien untuk mencetak gol. Cara tersebut mungkin cocok untuk tim-tim tertentu, namun saat Brazil yang menggunakannya, permainan terasa hambar. Hanya Neymar yang beberapa kali mencoba menerobos dengan dribble dan berulang kali dilanggar oleh pemain Colombia sebelum akhirnya frustasi dan mendapat kartu merah. Ini memang kekalahan pertama Brazil sejak ditangani oleh Dunga, namun perubahan pola permainan yang membuat saya lebih miris.
Sebagai seorang penikmat sepakbola, saya memahami bahwa terdapat siklus yang harus dilalui oleh suatu tim sebelum tim tersebut jaya kembali. Meskipun begitu, kenyataan bahwa terjadinya perubahan identitas terhadap satu tim yang ikonik cukup mengganggu batin saya. Semoga terdapat siklus dimana Brazil kembali bermain dengan joga bonito yang menghibur penonton, tentunya diiringi dengan hasil yang optimal.
No comments:
Post a Comment